Tutorial Pengisian Aplikasi DCM ( Daftar Cek Masalah )

Tutorial Pengisian Aplikasi DCM ( Daftar Cek Masalah )

  1. Pengertian DCM ( Daftar Cek Masalah)

DCM adalah daftar cek yang khusus disusun untuk untuk merangsang atau memancing pengutaraan masalah-masalah atau problem-problem yang pernah atau sedang di alami seseorang, masalah siswa merupakan suatu hal yang penting diketahui oleh konselor, sebab masalah inilah yang mungkin terjadi sebab-sebab terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan masalah merupakan starting point ketika kita memberikan layanan bimbingan konseling, pada prinsipnya masalah yang menimpa diri individu harus segera dipecahkan ( diatasi) agar tidak mengganggu kehidupan individu yang bersangkutan, dan munngkin pula individu-individu yang lainnya.

 

  1. Alasan Penggunaan DCM

Penggunaan DCM dilakukan atas dasar pertimbangan, efesien, intensif, Validitas, Reabilitas.

  • Efesien karena dengan DCM dapat diperoleh banyak data masalah dan kebutuhan siswa dalam waktu singkat.
  • Intensif karena data yang diperoleh melalui DCM lebih teliti mendalam dan luas.
  • Validitas dan reabilitas, DCM karena individu yang bersangkutan mengecek sendiri masalah yang telah atau sedang dialami, di samping daftar jumlah item kemungkinan masalah tersedia cukup banyak, sehingga individu dapat mencermati dan memilih masalah yang sesuai dengan dirinya.
  1. Fungsi dan Kegunaan DCM
  2. Fungsi DCM
  • Untuk memudahkan individu mengemukakan masalah yang pernah dan sedang dialami. Dengan DCM memungkinkan individu mengingat masalah-masalah yang pernah dialami.
  • Untuk sistematisasikan jenis masalah yang ada pada individu agar memudahkan analisis dan sintesis dengan cara atau alat lain.
  • Untuk menyarankan suatu prioritas program pelayanan bimbingan dan konseling dengan masalah individu atau kelompok pada saat itu.
  1. Kegunaan DCM
  • Untuk melengkapi data individu yang sudah ada.
  • Untuk mengenal individu yang perlu segera mendapat bimbingan kasus.
  • Sebagai pedoman penyusunan program bimbingan klasikal dan bimbingan kelompok pada umumnya.
  • Untuk mendalami masalah individu maupun kelompok.

 

 

  1. Cara mengisi DCM
  • Dibawah ini contoh soal DCM
  • pic1
  • Dibawah ini contoh lembar jawab
  • pic2

 

CARA MENGISI DCM

1. Pada bagian bawah, anda pilih menu TABULASI

pic3

 

 

 

Gambar menu tabulasi

pic4

Dalam menu TABULASI anda isikan nama,jenis kelamin,kelas dan masalah yang menjadi permasalahan oleh siswa ( acuan pada hasil angket ).dimulai pada aspek I. KESEHATAN ( 1-20 ) sampai aspek XII MASA DEPAN DAN CITA-CITA ( 221 – 240 ).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.klik menu PROFIL INDIVIDUAL pada bagian bawah kolom, secara otomatis kolom akan terisi dengan sendiri.

pic5

Di dalam menu individu, dibawah kolom HASIL PENGOLAHAN akan muncul grafik secara otomatis.

pic6

pic7

  1. Klik menu PROFIL KELAS pada bagian bawah, pada menu ini juga akan secara otomatis terisi.

pic8

  1. KLIK ANALISIS PERTOPIK PARALEL.Menu ini akan terisi secara otomatis

pic9

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Klik menu DAFTAR SISWA ASUH, isi menu ini dengan memberi tanda (v) pada kolom yang telah tersedia sesuai dengan hasil data yang telah diperoleh. Pilih layanan yang cocok, sesuai dengan layanan yang dibutuhkan siswa yang bermasalah atau sangat bermasalah. kriteria anak yang bermasalah, yaitu 30% keatas, liat menu PROFIL INDIVIDUAL

pic10

 

 

Selesai, semoga bermanfaat bagi anda semua…

MAKALAH CLIENT CENTERED THERAPY

MAKALAH
CLIENT CENTERED THERAPY

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Model-model Konseling I
Dosen pengampu : Hanung Sudibyo, M.Pd
DISUSUN OLEH :
1. Nur Azizah Zahro (1112500032)
2. Kurniatun Khasanah (1112500098)
3. Ardian Perwira N (1112500070)
4. Trio Nur Afani (1112500206)

Semester/Kelas : 4/E

PROGDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2014
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul:
“CLIENT CENTERED THERAPY”
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Tegal, 18 April 2014

Penulis

 

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan berpikir dan kesadaran manusia akan diri dan dunianya, telah mendorong terjadinya globalisasi. Situasi global membuat kehidupan semakin kompetitif dan membuka peluang bagi manusia untuk mencapai status dan tingkat kehidupan yang lebih baik. Dampak positif dari kondisi global telah mendorong manusia untuk terus berfikir, meningkatkan kernampuan, dan tidak puas terhadap apa yang dicapainya pada saat ini. Adapun dampak negatif dari globalisasi tersebut adalah (1) keresahan hidup di kalangan masyarakat yang semakin meningkat karena banyaknya konflik, stress, kecemasan, dan frustasi; (2) adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi, dan korupsi, makin sulit diterapkannya ukuran baik-jahat serta benar-salah secara. lugas; (3) adanya ambisi kelompok yang dapatmenimbulkan konflik, tidak saja konflik psikis, tetapi juga konflik fisik; dan (4) pelarian darimasalah melalui jalan pintas yang bersifat sementara juga adiktif, seperi penggunaan obat-obat terlarang.

Carl R. Rogers mengembangkan terapi client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutkannya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien berikutnya dunia subjektif dan fenomenalnya. Terapis berfungsi terutarna sebagai penunjang pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam menemukan kesanggupan kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan client-centered manaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan terapeutik antara terapis dan klien merupakan katalisator bagi perubahan; klien menggunakan hubungan yang unik sebagai alat unuk meningkatkan kesadaran dan untuk menernukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja prinsip dasar dan konsep dasar therapis client centered ?
2. Bagaimana tujuan pendekatan psikoterapi client centered ?
3. Bagaimana hubungan therapis dengan klien dalam client centered ?
4. Bagaimana proses konseling dan teknik-teknik dalam pendekatan clien centered ?
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan therapis client centered ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip Dasar
a. Pandangan Tentang Sifat Manusia
Manusia dalam pandangan Rogers adalah bersifat positif. Ia mempercayai bahwa manusia memiliki dorongan untuk selalu bergerak ke muka, berjuang untuk berfungsi, kooperatif, konstrukstif dan memiliki kebaikan pada inti terdalam tanpa perlu mengendalikan dorongan-dorongan agresifnya. Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dalam praktek terapi client centered dimana terapis meletakan tanggung jawab proses terapi pada client, bukan terapis yang memiliki otoritas. Client diposisikan untuk memiliki kesnggupan-kesangguapan dalam membuat keputusan.
Pendekatan konseling client centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan. Menurut Roger konsep inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.
Terapi berpusat pada klien (Client Centered Teraphy) merupakan salah satu teknik alternatif dalam praktik pekerjaan sosial, terutama bagi terapis yang tidak begitu menguasai secara baik beberapa teori dan praktik pekerjaan sosial, walaupun begitu bukan berarti tanpa tantangan dan keahlian yang spesifik. Beberapa teori dan praktek pekerjaan yang bersifat dasar tetap menjadi kebutuhan mutlak dalam teknik terapi ini.
b. Latar Belakang Historis Terapi Client Centered
 Terapi Client Centered dipelopori oleh Carl R . Rogers sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya sebagai keterbatasan-keterbatasan mendasari dari psikoanalisis.
 Pada hakikatnya pendekatan Client Centered merupakan cabang khusus dari terapi Humanistik yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomenalnya.

c. Beberapa Asumsi Dasar Terapi Client Centered
 Individu memiliki kapasitas untuk membimbing, mengatur, mengarahkan, dan mengendalikan dirinya sendiri apabila ia diberikan kondisi tertentu yang mendukung
 Individu memiliki potensi untuk memahami apa yang terjadi dalam hidupnya yang terkait dengan tekanan dan kecemasan yang ia rasakan.
 Individu memiliki potensi untuk mengatur ulang dirinya sedemikian rupa sehingga tidak hanya untuk menghilangkan tekanan dan kecemasan yang ia rasakan, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan diri dan mencapai kebahagiaan.
d. Prinsip-Prinsip dalam Terapi Client Centered
 Kita berperilaku sesuai dengan persepsi kita terhadap realitas. Berkaitan dengan hal ini, untuk memahami masalah klien, maka kita harus benar-benar memahami bagaimana ia mempersepsikannya.
 Kita termotivasi oleh dorongan primer bawaan lahir yang berupa dorongan untuk mengaktualisasikan diri. Secara otomatis individu akan mengembangkan potensinya dalam kondisi-kondisi yang mendukung. Kondisi-kondisi ini dapat diciptakan dalam terapi dan oleh karena itu, terapis harus bersikap nondirektif.
 Individu memiliki kebutuhan dasar akan cinta dan penerimaan. Dalam terapi, hal ini diterjemahkan sebagai adanya kebutuhan untuk fokus pada hubungan (antara terapis dan klien-red) dan pengkomunikasian empati, sikap menghargai, dan ketulusan dari terapis.
 Konsep diri individu bergantung pada penerimaan dan penghargaan yang ia terima dari orang lain. Konsep diri klien dapat ia ubah apabila ia mengalami penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard) dalam terapi.
B. Karakteristik konseling berpusat pada klien
a. Fokus utama adalah kemampuan individu memecahkan masalah bukan terpecahnya masalah.
b. Lebih mengutamakan sasaran perasaan dari pada intelek.
c. Masa kini lebih banyak diperhatikan dari pada masa lalu.
d. Pertumbuhan emosional terjadi dalam hubungan konseling.
e. Proses terapi merupakan penyerasian antara gambaran diri klien dengan keadaan dan pengalaman diri yang sesungguhnya.
f. Hubungan konselor dan klien merupakan situasi pengalaman terapeutik yang berkembang menuju kepada kepribadian klien yang integral dan mandiri.
C. Konsep Dasar
a. Pandangan Menurut Rogers
Client Centered (Konseling Berpusat Klien) – Model konseling berpusat pribadi dikembangkan oleh Carl R. Rogers. Sebagai hampiran keilmuan merupakan cabang dari psikologi humanistik yang menekankan model fenomenologis. Konseling person-centered mula-mula dikembangkan pada 1940 an sebagai reaksi terhadap konseling psychoanalytic. Semula dikenal sebagai model nondirektif, kemudian diubah menjadi client-centered.
Carl R. Rogers mengembangkan terapi client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Terapis berfugsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi seseorang dengan jalan membantunya dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan client centered ini menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan seseorang untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.
b. Ciri-Ciri Pendekatan Client Centered
Berikut ini uraian ciri-ciri pendektan Client Centered dari Rogers :
1. Client dapat bertanggung jawab, memiliki kesanggupan dalam memecahkan masalah dan memilih perliku yang dianggap pantas bagi dirinya.
2. Menekankan dunia fenomenal client. Dengan empati dan pemahaman terhadap client, terapis memfokuskan pada persepsi diri client dan persepsi client terhadap dunia.
3. Prinsip-prinsip psikoterapi berdasarkana bahwa hasrat kematangan psikologis manusia itu berakar pada manusia sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dimana dampak psikoteraputik terjadi karena hubungan konselor dan client. Karena hal ini tidak dapat dilakukan sendirian (client).
4. Efektifitas teraputik didasarkan pada sifat-sifat ketulusan, kehangatan, penerimaan nonposesif dan empati yang akurat.
5. Pendekatan ini bukanlah suatu sekumpulan teknik ataupun dogma. Tetapi berakar pada sekumpulan sikap dan kepercayaan dimana dalam proses terapi, terapis dan client memperlihatkan kemanusiawiannya dan partisipasi dalam pengalaman pertumbunhan.
D. Tujuan Pendekatan Psikoterapi
Menurut Rogers (1961), pertanyan “Siapa Saya?” mengantarkan kebanyakan orang kepada psikoterapi. Mereka tampaknya bertanya: Bagaimana saya bisa menemukan diri nyata saya? Bagaimana saya bisa menjadi apa yang sangat saya inginkan? Bagaimana saya bisa memahami apa yang ada dibalik dinding saya dan menjadi diri sendiri?.
Tujuan dasar terapi client-centered adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai terapeutik tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien bisa memahami hal-hal yang ada dibalik topeng yang dikenakannya. Klien mengembangkan kepura-puraan dan bertopeng sebagai pertahanan terhadap ancaman. Sandiwara yang dimainkan oleh klien menghambatnya untuk tampil utuh dihadapan orang lain dan, dalam usahanya menipu orang lain, ia menjadi asing terhadap dirinya sendiri.
Apabila dinding itu runtuh selama proses terapeutik, orang macam apa yang muncul dari balik kepura-puraan itu? Rogers menguraikan ciri-ciri orang yang bergerak kearah menjadi bertambah teraktualkan: keterbukaan kepada pengalaman, kepercayaan terhadap organismenya sendiri, tempat evaluasi internal, dan kesediaan untuk menjadi suatu proses. Terdapat beberapa tujuan pendekatan terapi Client Centered yaitu sebagai berikut :
1. Keterbukaan pada Pengalaman
Sebagai lawan dari kebertahanan, keterbukaan pada pengalamam menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya.
2. Kepercayaan pada Organisme Sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Dengan meningknya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun muali timbul.
3. Tempat Evaluasi Internal
Tempat evaluasi internal ini berkaitan dengan kepercayaan diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya dari pada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari dirinya sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
4. Kesediaan untuk menjadi Satu Proses.
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian merupakan lawan dari konsep diri sebagai produk. Walaupun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula guna membangun keadaan berhasil dan berbahagia, tapi mereka menjadi sadar bahwa peretumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.
Adapun Tujuan Konseling dengan pendekatan Client Centered adalah sebagai berikut:
• Menciptakan suasana yang kondusif bagi klien untuk mengeksplorasi diri sehingga dapat mengenal hambatan pertumbuhannya .
• Membantu klien agar dapat bergerak ke arah keterbukaan, kepercayaanyang lebih besar kepada dirinya,keinginan untuk menjadi pribadi yang mandiri dan meningkatkan spontanitas hidupnya.
• menyediakan iklim yang aman dan percaya dalam pengaturan konseling sedemikian sehingga konseli, dengan menggunakan hubungan konseling untuk self-exploration, menjadi sadar akan blok/hambatan ke pertumbuhan.
• Konseling cenderung untuk bergerak ke arah lebih terbuka, kepercayaan diri lebih besar, lebih sedia untuk meningkatkan diri sebagai lawan menjadi mandeg, dan lebih hidup dari standard internal sebagai lawan mengambil ukuran eksternal untuk apa ia perlu menjadi.

E. Peran dan fungsi konselor
Kemampuan konselor membangun hubungan interpersonal dalam proses konseling merupakan elemen kunci keberhasilan konseling, disini konselor berperan mempertahankan 3 konsdisi inti (core condition) yang menghadirkan iklim kondusif untuk mendorong terjadinya perubahan terapeutik dan perkembangan konseli, meliputi :
• Sikap yang selaras dan keaslian (congruence or genuineness).
Konselor menampilkan diri yang sebenarnya, asli, terintegrasi dan otentik. Konselor juga selaras menampilkan antara perasaan dan pikiran yang ada didalam dirinya dengan perasaan, pandangan dan tingkah laku yang diekspresikan.
• Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard and acceptance).
Unconditional positive adalah Konselor dapat berkomunikasi dengan konseli secara mendalam dan jujur sebagai pribadi, konselor tidak melakukan penilaian dan penghakiman terhadap perasaan, pikiran dan tingkah laku berdasarkan standar norma tertentu.
Acceptance adalah penghargaan spontan terhadap konseli, dan menerimanya sebagai individu yang berbeda dengan konselor, dimana perbedaan tersebut dapat terjadi pada nilai-nilai, persepsi diri, maupun pengalaman-pengalaman hidupnya.
• Pemahaman yang empatik dan akurat (accurate empathic undertanding)
Kemampuan konselor untuk memahami permasalah konseli, melihat sudut pandangan konseli, peka terhadap perasaan-perasaan konseli, sehingga konselor mengetahui bagaimana konseli merasakan perasaanya.
F. Hubungan Terapis Dengan Klien
Konsep hubungan antara terapis dan client dalam pendekatan ini ditegaskan oleh pernyataan Rogers (1961) “jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, sehingga perkembangan pribadi pun akan terjadi. Ada enam kondisi yang diperlukan dan memadahi bagi perubahan kepribadian :
1. Dua orang berada dalam hubungan psikologis.
2. Orang pertama disebut client, ada dalam keadaan tidak selaras, peka dan cemas.
3. Orang kedua disebut terapis, ada dalam keadaan selaras atau terintegrasi dalam berhubungan.
4. Terapis merasakan perhatian positif tak bersyarat terhadap client.
5. terapis merasakan pengertian yang empatik terhadap kerangka acuan internal client dan berusaha mengkomunikasikan perasaannya ini kepada terapis.
6. Komunikasi pengertian empatik dan rasa hormat yang positif tak bersyarat dari terapis kepada client setidak-tidaknya dapat dicapai.
Ada tiga ciri atau sikap terapis yang membentuk bagian tengan hubungan teraputik :
1. Keselarasana/kesejatian. Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah bagaimana terapis tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terinytgrasi selama pertemuan terapi. Terapis bersikap secara spontan dan terbuka menyatakan sikap-sikap yang ada pada dirinya baik yang positif maupun negatif. Terapis tidak diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaan-perasaan secara impulsive terhadap client. Hal ini dapat menghambat proses terapi. Jelas bahwa pendekatan client centered berasumsi bahwa jika terapi selaras/menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan client maka proses teraputic bisa berlangsung.
2. Perhatian positif tak bersayarat. Perhatian tak bersayarat itu tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku client sebagai hal yang buruk atau baik. Perhatian tak bersyarat bkan sikap “Saya mau menerima asalkan…..melainkan “Saya menerima anda apa adanya”. Perhatian tak bersyarat itu seperti continuum. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian dan penerimaan hangat terhadap client, maka semakin besar pula peluang untuk menunjung perubahan pada client.
3. Pengertian empatik yang akurat. Pada bagian ini merupakan hal yang sangat krusial, dimana terapis benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif dari client. Konsep ini menyiratkan terapis memahami perasaan-perasaan client yang seakan-akan perasaanya sendiri. Tugas yang makin rumit adalah memahami perasaan client yang samar dan memberikan makna yang makin jelas. Tugas terapis adalah membantu kesadaran client terhadap perasaan-perasaan yang dialami. Regers percaya bahwa apabila terapis mampu menjangkau dunia pribadi client sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh client, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari client, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.
G. Proses Konseling
Proses-proses yang terjadi dalam konseling dengan menggunakan pendekatan Client Centered adalah sebagai berikut :
1. Konseling memusatkan pada pengalaman individual.
2. Konseling berupaya meminimalisir rasa diri terancam, dan memaksimalkan dan serta menopang eksplorasi diri. Perubahan perilaku datang melalui pemanfaatan potensi individu untuk menilai pengalamannya, membuatnya untuk memperjelas dan mendapat tilikan pearasaan yang mengarah pada pertumbuhan.
3. Melalui penerimaan terhadap klien, konselor membantu untuk menyatakan, mengkaji dan memadukan pengalaman-pengalaman sebelunya ke dalam konsep diri.
4. Dengan redefinisi, pengalaman, individu mencapai penerimaan diri dan menerima orang lain dan menjadi orang yang berkembang penuh.
Wawancara merupakan alat utama dalam konseling untuk menumbuhkan hubungan timbal balik.
H. Teknik-Teknik dalam Pendekatan Client-Centered
Rumusan-rumusan yang lebih dini dari pandangan Rogers tentang psikoterapi memberi penekanan yang lebih besar pada tekhnik-tekhnik. Perkembangan pendekatan Client-Centered disetai oleh peralihan dari penekanan pada teknik-teknik terapeutik kepada penekanan pada kepribadian, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap terapis, serta pada hubungan terapeutik. Hubungan terapeutik, yang selanjutnya menjadi variabel yang sangat penting, tidak identik dengan apa yang dikatakan atau yang dilakukan oleh terapis. Dalam kerangka Client-Centered, tekhnik-tekniknya adalah pengungkapan dan pengomunikasian penerimaan, respek, dan pengertian, serta berbagai upaya dengan klien dalam mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan, dan mengeksplorasi. Menurut pandangan pendekatan Client-Centered, penggunaan teknik-teknik sebagai muslihat terapis akan mendepersonalisasikan hubungan terapis klien.
Teknik-teknik harus menjadi suatu pengungkapan yang jujur dari terapis, dan tidak bisa digunakan secara sadar diri, sebab dengan demikian terapis tidak akan menjadi sejati. Konkritnya, menurut Corey wawancara merupakan tekhnik utama dalam konseling. Bahkan penyembuhan diri konseling sendiri dilakukan melalui akibat tidak langsung dari proses diskusi antara konselor dan konseling.

I. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Client-Centered
Pendekatan Client-Centered merupakan corak yang dominan yang digunakan dalam pendidikan konselor, beberapa alasannya adalah:
1) Terapi Client-Centered memiliki sifat keamanan.
2) Terapi Client-Centered menitikberatkan mendengar aktif, memberikan respek kepada klien, memperhitungkan kerangka acuan internal klien, dan menjalin kebersamaan dengan klien yang merupakan kebalikan dari menghadapi klien dengan penafsiran-penafsiran.
3) Para terapis Client-Centered secara khas mereflesikan isi dan perasaan-perasaan, menjelaskan pesan-pesan, membantu para klient untuk memeriksa sumber-sumbernya sendiri, dan mendorong klien untuk menemukan cara-cara pemecahannya sendiri.
Jadi, terapi Client-Centered jauh lebih aman dibanding dengan model-model terapi lain yang menempatkan terapis pada posisi direktif, membuat penafsiran-penafsiran, membentuk diagnosis, menggali ketaksadaran, menganalisis mimpi-mimpi, dan bekerja ke arah pengubahan kepribadian secara radikal.
Pendekatan Client-Centered dengan berbagai cara memberikan sumbangan-sumbangan kepada situasi-situasi konseling individual maupun kelompok atau dengan kata lain memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
1) Memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subyektif klien, memberikan peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan mendengar.
2) Mereka bisa menjadi diri sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka tidak akan di evaluasi dan dihakimi.
3) Mereka akan merasa bebas untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru.
4) Mereka dapat diharapkan memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan merekalah yang memasang langkah dalam konseling.
5) Mereka yang menetapkan bidang-bidang apa yang mereka ingin mengeksplorasinya di atas landasan tujuan-tujuan bagi perubahan.
6) Pendekatan Client-Centered menyajikan kepada klien umpan balik langsung dan khas dari apa yang baru dikomunikasikannya.
7) Terapis bertindak sebagai cermin, mereflesikan perasaan-perasaan kliennya yang lebih dalam.
Jadi kesimpulanya, bahwa klien memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus yang lebih tajam dan makna yang lebih dalam bagi aspek-aspek dari struktur dirinya yang sebelumnya hanya diketahui sebagian oleh klien. Perhatian klien difokuskan pada banyak hal yang sebelunya tidak diperhatikannya. Klien oleh karenanya bisa meningkatkan sendiri keseluruhan tindakan mengalaminya.
Adapun kelemahan pendekatan Client-Centered terletak pada beberapa hal berikut ini:
1) Cara sejumlah pemratek menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi Client-Centered.
2) Tidak semua konselor bisa mempraktekan terapi Client-Centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya.
3) Membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empatik.
4) Adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pemraktek menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.
Melihat beberapa kelemahan dari pendekatan Client-Centered di atas perlu adanya rekomendasi. Memang secara paradoks terapis dibenarkan berfokus pada klien sampai batas tertentu, sehingga menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai pribadi, dan oleh karena itu kepribadiannya kehilangan pengaruh. Terapis perlu menggarisbawahi kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud klien, dan pada saat yang sama ia bebas membawa kepribadiannya sendiri ke dalam pertemuan terapi.
Jadi, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi Client-Centered tidak lebih dari pada tekhnik mendengar dan merefleksikan. Tetapi Client-Centered berlandaskan sekumpulan sikap yang dibawa oleh terapis kedalam pertemuan denga kliennya, dan lebih dari kualitas lain yang mana pun, kesejatian terapis menentukan kekuatan hubungan terapeutik. Apabila terapis menyembunyikan identitas dan gayanya yang unik dengan suatu cara yang pasif dan nondirektif, ia bisa jadi tidak akan merugikan klien, tetapi bisa jadi juga tidak akan sungguh-sungguh mampu mempengaruhi klien dengan suatu cara yang positif. Keotentikan dan keselarasan terapis demikian vital sehingga terapis yang berpraktek dalam kerangka Client-Centered harus wajar dalam bertindak dan harus menemukan suatu cara mengungkapkan reaksi-reaksinya kepada klien. Jika tidak demikian, maka kemungkinan yang nyata adalah: terapi Client-Centered akan dikecilkan menjadi suatu corak kerja yang ramah dan aman, tetapi tidak membuahkan hasil.

 

 

 

 

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terapi client-centered berlandaskan suatu filsafat tentang manusia yang menekankan bahwa kita memiliki dorongan bawaan kepada aktualisasi diri. Selain itu, Rogers memandang manusia secara fenomenologis, yakni ia baranggapan bahwa manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsinya-persepsinya tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualkan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.

Teori Rogers berlandaskan dalil bahwa klien memiliki kesanggupan untuk memahami faktor-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidakbahagiaan. Klien juga memiliki kesanggupan untuk mengarahka diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif. Perubahan pribadi akan timbul jika terapis yang selaras bisa membangun hubungan dengan kliennya, suatu hubungan yang ditandai oleh kehangatan, penerimaan, dan pengertian empatik yang akurat. Konseling terapeutik barlandaskan hubungan Aku-Kamu, atau hubungan pribadi-ke-pribadi dalam keamanan dan penerimaaan yang mendorong klien untuk menanggalkan perthanan-pertahanannya yang kaku serta menerima dan mengintegrasikan aspek-aspek dari sistem dirinya yang sebelumnya diingkari atau didistorsi.

Terapi client-centered menempatkan tanggung jawab utama terhadap arah terapi pada klien. Tujuan-tujuan umumnya ialah: menjadi lebih terbuka kapada pengalaman, mempercayai organismenya sendiri, mengembangkan evaluasi ineternal, kesediaan untuk menjadi suatu proses, dan dengan cara-cara lain bergerak menuju taraf-taraf yang lebih tinggi dari aktualisasi diri. Terapis tidak mengajukan tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang spesifik kepada klien; klien sendirilan yang menetapkan tujuan-tujuan dan nilai-nilainya hidupnya yang spesifik.

Terapi client-centered menitikberatkan hubungan pribadi antara klien dan terapis. Sikap-sikap terapis lebih penting dari pada teknik-teknik, pengetahuanm atau teori. Jika terapis menunjukkan dan mengomunikasikan kepada kliennya bahwa terapis adalah pribadi yang selaras, secara hangat dan tak bersyarat menerima perasaan-perasaan dan kepribadian klien, dan mampu mempersepsi secara peka dan tepat dunian internal klien sebagaimana klien mempersepsi dunia internalnya itu, maka klien bisa menggunakan hubungan terapeutik untuk memperlancar pertumbuhan dan menjadi pribadi yang dipilihnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
PT Refika Aditama
Http://eko13.wordpress.com/2011/04/14/Pendekatan Konseling Client-Centered
Http://jyowono.blogspot.com/2009/11
Http:dhiey.wordpress.com/2011/05/04
http://atfahmi.depsos.org/2010/07/13/terapi-berpusat-klienclient-centered-theraphy/
http://translate.google.co.id/dsounseling-client-centered-tereaphy.html
tea-alfa.blogspot.com/…/client-centered-therapy-cct.ht.

 

MAKALAH PROBEM DI DALAM KELUARGA – KONSELING KELUARGA

Gambar

MAKALAH
PROBLEM DI DALAM KELUARGA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Konseling keluarga
Dosen pengampu : Mulyani M.Pd
DISUSUN OLEH :
1. Patuh ardianto (1112500035)
2. Indra dwi yulianto (1112500159)
3. Trio nur afani (1112500206)
4. Nur azizah zahro (1112500032)
5. Maya lestari (1112500170)
6. Roro praptiningrum (1112500184)
7. Mursid adi (1112500)

Semester/Kelas : 4/E

PROGDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2014
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul:
“PROBLEM DI DALAM KELUARGA”
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Tegal, 18 April 2014

Penulis

 

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tiap keluarga akan senantiasa menghadapi berbagai masalah, tetapi kemampuan untuk mengatasinya tidak terlalu memadai. Karena itu harus ada usaha-usaha untuk memperkuat kemampuan keluarga atau anggota keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam keluarga itu sendiri maupun dari luar. Usaha itu harus dimulai oleh keluarga itu sendiri atau oleh seorang ahli yang dapat membantu mengatasi persoalan keluarga bila masalah keluarga itu memerlukan orang lain untuk membantu penyelesaian konflik dalam keluarga.
Kita menyadari bahwa bahtera perkawinan tidak selamanya dapat mengarungi samudera dengan tenang dan lancar. Setelah keluarga terbentuk, berbagaimasalah dapat timbul dalam keluarga yang pada gilirannya akan menjadi benih yang mengancam kehidupan perkawinan dan berakibat keretakan atau perceraian. Sebelum hal ini terjadi di keluarga atau angota keluarga hendaklah berusaha untuk mencegahnya dengan memperbaiki hubungan dalam keluarga dan kadang-kadang memerlukan campur tangan orang luar dalam usaha membantu keluarga itu untuk mengatasi masalah tersebut.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya adalah :
1. Bagaimana Pengertian problem keluarga ?
2. Apa saja klasifikasi problem –problem yang ada di dalam keluarga ?
3. Faktor-faktor penyebab dari problem keluarga ?
4. Bagaimana upaya untuk mengatasi problem keluarga ?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang telah disampaikan di atas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian problem keluarga
2. Untuk mengetahui klasifikasi problem-problem yang ada di dalam keluarga
3. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab dari problem keluarga
4. Untuk mengetahui upaya untuk mengatasi problem keluarga

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PROBLEM KELUARGA
Problem keluarga artinya kehidupan keluarga dalam keadaan kacau, tak teratur dan terarah, orang tua kehilangan kewibawaan untuk mengendalikan kehidupan anak-anaknya terutama remaja, mereka melawan orangtua, dan terjadi pertengkaran terus menerus antara ibu dengan bapak terutama mengenai soal mendidik anak-anak. Bahkan problem keluarga bisa membawa kepada perceraian suami-isteri. Dengan kata lain problem keluarga adalah suatu kondisi yang sangat labil di keluarga, dimana komunikasi dua arah dalam kondisi demokratis sudah tidak ada. Jika terjadi perceraian sebagai puncak dari problem yang berkepanjangan, maka yang paling menderita adalah anak-anak. Sering perkara perceraian di pengadilan agama, yang paling rumit adalah siapakah yang akan mengurus anak-anak. Sering pengadilan memenangkan hak asuh kepada pihak laki-laki atau bapak. Dalam hal ini pengadilan agama hanya berdasarkan fakta hokum belaka.
B. JENIS-JENIS MASALAH , FAKTOR DAN UPAYA MENGATASI PROBLEM KELUARGA
Ada sejumlah problem di dalam sebuah keluarga. problem tersebut bisa berdiri sendiri tetapi kecenderungannya saling berkaitan satu sama lain. Beragam prblem keluarga diantaranya:
1. Masalah Perekonomian
Keluarga miskin masih besar jumlahnya di negeri ini. Berbagai cara diusahakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Akan tetapi tetap saja kemiskinan tidak terkendali. Terakhir pemerintah memberikan bantuan langsung tunai (BLT) pada tahun 2007 dan 2008. Kemiskinan jelas berdampak terhadap keluarga. Jika kehidupan emosional suami isteri tidak dewasa, maka akan timbul pertengkaran. Sebab, isteri banyak menuntut hal-hal di luar makan dan minum. Padahala penghasilan suami sebagai buruh lepas, hanya dapat member makan dan rumah petak tempat berlindung yang sewanya terjangkau. Akan tetapi yang namanya manusia sering bernafsu contohnya ingin memiliki televisi, radio dan sebagainya sebagaimana layaknya sebuah keluarga yang normal. Karena suami tidak sanggup memenuhi tuntutan isteri dan anak-anaknya akan kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan tadi, maka timbullah pertengkaran suami isteri yang sering menjurus kearah perceraian. Suami yang egois dan tidak dapat menahan emosinya lalu menceraikan isterinya. Akibatnya terjadilah kehancuran sebuah keluarga sebagai dampak kekurangan ekonomi.
a. Faktor-faktor Penyebab dari problem perekonomian :
• Keadaan ekonomi keluarga yang lemah berpengaruh pada sandang, pangan, papan yang baik.
• Penghasilan istri yang lebih besar.
• Gaya hidup yang berbeda.
b. Upaya mengatasi problem Perekonomian :
1. Terbuka
Hal pertama yang harus dilakukan untuk menghindari keuangan adalah bersikap terbuka. Baik pasangan sama-sama mencari uang atau hanya salah satu saja yang menghasilkan uang, seharusnya tak ada yang disembunyikan masalah pengeluaran. Selalu diskusikan semua keputusan yang menyangkut keuangan, seperti pengeluaran, pemasukan, tabungan, dan lainnya.
2. Tentukan tujuan jangka panjang
Dalam hal keuangan, Anda juga harus cermat dan bijak dalam melihat masa depan. Tentukan beberapa hal di masa depan yang membutuhkan banyak uang. Misalkan biaya pendidikan anak, liburan, dan lainnya. Ini akan membantu Anda menyimpan uang dan tak kewalahan ketika saatnya tiba.
3. Menabung
Anda tak harus menabung banyak di bank, namun sediakan tabungan kecil di rumah yang bisa Anda isi setiap minggu. Mungkin terdengar remeh, namun uang yang terkumpul bisa jadi sangat berguna saat dibutuhkan.
4. Sisihkan ‘uang senang-senang’
Sisakan sedikit uang untuk hiburan atau bersenang. Jangan banyak-banyak agar tidak terlalu boros. Anda bisa menggunakan uang tersebut untuk makan malam bersama, nonton film, atau membeli sesuatu untuk keluarga. Anggap saja uang ini adalah sebuah reward atas kerja keras Anda dan pasangan.
5. Bekerjasama untuk mengatur keuangan
Pastikan Anda dan pasangan saling bekerjasama untuk mengatur keuangan. Jangan terlalu mendominasi atau malah pasif jika berkaitan dengan pengeluaran atau pengaturan keuangan. Mungkin awalnya akan canggung, namun jika dibiasakan Anda akan mendapatkan manfaat mengatur keuangan sebagai tim bersama pasangan.
6. Memiliki usaha sampingan
Mungkin dengan isteri bekerja membuka toko sembako ,maka sedikit demi sedikit keluarga tersebut tidak kekurangan kebutuhan ekonomi karena saling membantu antara suami dan isteri.

2. Masalah Kesehatan
Kesehatan sangatlah penting bagi diri kita karena jika diantara anggota keluarga kita sering sakit-sakitan maka pengeluaran untuk dokter, obat-obatan dan rumah sakit akan bertambah. Apalagi jika salah satu anggota keluarga terjangkit penyakit menular itu akan membutuhkan pengeluaran yang lebih banyak lagi. Masalah gizi buruk menghantui banyak keluarga miskin di Indonesia dan Kurang kesadaran masyarakat akan kesehatan semakin menambah parahnya masalah kesehatan keluarga . Contohnya dalam sebuah keluarga ada yang mudah sakit karena mungkin kekurangan gizi yang tidak baik.
a. Faktor-faktor penyebab dari problem kesehatan adalah :
 Biaya kesehatan semakin mahal tidak sebanding dengan pendapatan per capita
 Beragam penyakit semakin bermunculan bersamaan dengan makin majunya ilmu kedokteran
b. Upaya Mengatasi problem kesehatan :
 Memelihara kebersihan dan kesehatan pribadi dengan baik
Ajarkan anak hidup sehat dimulai dari “diri sendiri”. Dapat dikatakan bahwa kesehatan yang kita miliki adalah karena “upaya” kita sendiri.
 Makan makanan sehat
Makan merupakan kebutuhan penting, tidak saja bagi penyediaan energi untuk tubuh,
tetapi juga merupakan kebutuhan penting untuk kesehatan dan kelangsungan hidup.
 Memelihara Kesehatan Lingkungan
Hidup sehat memerlukan situasi, kondisi, dan lingkungan yang sehat. karena itu, kondisi lingkungan perlu benar-benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Kesehatan lingkungan harus dipelihara agar mendukung kesehatan keluarga dan setiap orang yang hidup di sekitarnya. Memelihara berarti menjaga kebersihannya. Lingkungan kotor dapat menjadi sumber penyakit.

3. Masalah Seksual
Hubungan seksual yang tidak harmonis menjadi salah satu pemicu konflik dalam kehidupan rumah tangga, Banyak pasangan tidak menyadari pentingnya hubungan seksual ini. Bahkan banyak diantara pasangan menjalani hubungan seksual sebagai hal rutinitas semata. Sekedar menjalankan kewajiban, tidak ada nuansa keindahan di dalamnya. Sering kita baca di surat kabar bahwa suatu masalah yang rumit untuk di kaji adalah masalah perselingkuhan yang di lakukan oleh suami atau isteri karena masalah seksual.
a. Faktor-faktor penyebab problem seksual adalah :
 Kurang puas terhadap pelayanan dari pasangan.
 Hubungan seks tidak dapat dikendalikan mengakibatkan pertambahan anggota keluarga.
b. Upaya mengatasi problem seksual :

1. Komunikasi, Hilangkan rasa sungkan dan malu. Bicarakan semua masalah seks yang Anda rasakan bersama pasangan, biar pasangan tahu problem seks yang sedang Anda alami.
2. Menahan emosi seks. Salah satu penyebab ejakulasi dini adalah tidak bisa menahan emosi seks ketika bersetubuh. Kebanyakan pria selalu ingin cepat ejakulasi.
3. Menghalangi semua permasalahan terbawa ke tempat tidur. Hindari berhubungan seks bila amarah dan kejengkelan masih bersemayam di hati.
4. Luangkan waktu untuk berduaan dengan istri. Kesibukan seringkali menghalangi suami-istri untuk bersama, hingga tidak bisa menikmati kehidupan secara pribadi.
5. Peliharalah kesehatan dengan mengatur pola makan dan tetap berolahraga. Selain itu hindarilah minuman beralkohol secara berlebihan

4. Masalah Pendidikan
Masalah pendidikan sering merupakan penyebab terjadinya problem di dalam keluarga. Jika pendidikan agak lumayan pada suami-isteri, maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada suami-isteri yang pendidikannya rendah sering tidak dapat memahami liku-liku keluarga. Akibatnya terjadi selalu pertengkaran yang mungkin menjadi perceraian. Jika pendidikan agama ada atau lumayan, mungkin sekali kelemahan dibidang pendidikan akan diatasi. Artinya suami-isteri akan dapat mngekang nafsu masing-masing sehingga pertengkaran dapat dihindari. Mengapa demikian ? karena agama islam mengajarkan agar orang bersabar dan shalat di dalam menghadapi gejolak hidup rumah tangga.
a. Faktor-faktor penyebab problem pendidikan adalah :
 Pendidikan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
 Berpengaruh pula segala keputusan yang akan diambil dalam keluarga.
 Pasangan yang sama-sama memiliki pendidikan yang rendah.
b. Upaya mengatasi problem pendidikan :
Untuk masalah pendidikan dalam keluarga memiliki arti yang sangat komplek, karena pada dasarnya pendidikan di indonesia tergantung pda latar belakang masing-masing keluarga, tetapi tinggal bagaimana masing2 keluarga menerapkanya diantaranya
1. mengikuti wajib belajar 9th.
2. memprogram dan merencanakan pendidikan dengan baik untuk keluarga.
3. memberikan kebebasan memilih pendidikan yang akan ditempuh anggota keluarga.
4. menyiapkan dana atau tabungan pendidikan sedini mungkin untuk merealisasikan pendidikan yang akan ditempuh.
5. menyiapkan solusi jika mungkin pilihan pendidikan yang kita inginkan tidak tercapai.

5. Masalah Pekerjaan
Peluang kerja semakin terbatas tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Persaingan dalam dunia kerja dan dunia usaha juga semakin tajam menambah makin beratnya beban keluarga adakalanya pasangan suami-isteri terpaksa bekerja serabutan atau bekerja di luar kompetensinya demi memperoleh penghasilan, Persoalan pekerjaan di kantor sering berimbas pada rumah tangga. Kesibukannya terfokus pada pekerjaan pencarian materi yaitu harta dan uang.Makna kesuksesan hidup tidaklah semata-mata berorientasi materi.
a. Faktor-faktor penyebab problem pekerjaan adalah :
 Orang tua sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan nya.
 Tidak punya pekerjaan atau baru di PHK.
b. Upaya mengatasi problem pekerjaan :
1. Adanya komunikasi dan interaksi hubungan yang baik antar keluarga masalah pekerjaan agar salah satu di antara suami atau isteri dapat mengerti dan memahami beban pekerjaan masing-masing yang sedang di jalankan sehingga tidak ada kesalah pahaman.
2. Sebelum kita memutuskan untuk menikahi pasangan kita,pasti kita sudah melihat dari segi pekerjaan, jadi saat kita sudah memutuskan untuk menikah pun berarti kita sudah menerima pekerjaan pasangan dan berjalan bersama memelihara dan mencintai pekerjaan pasangan kita.

6. Masalah Agama
Agama sangat penting peranannya dalam membangun keluarga bahagia. Termasuk dalam hal menentukan arah keluarga, pernikahan yang di bangun atas dasar kesamaan agama terkadang sering bermasalah apa lagi dengan pernikahan yang beda agama pasti mempunyai masalah. Dari perbedaan agama inilah muncul permasalahan dalam sebuah rumah tangga.
a. Faktor-faktor penyebab problem agama adalah :
 Perbedaan agama antara suami dan isteri.
 Jauh dari agama hanya mementingkan materi dan duniawi semata maka tinggal menunggu kehancuran keluarga tersebut saja.
b. Upaya mengatasi problem agama :
1. Luangkan waktu untuk selalu berintropeksi diri.
2. Lebih memahami agama masing-masing pasangan sehingga tidak muncul permasalahan diantara pasangan.
3. Berusaha selalu mendekatkan diri kepada sang pencipta.

7. Masalah Komunikasi
Masalah komunikasi merupakan masalah fundamental yang menentukan kebahagiaan keluarga, kesenjangan komunikasi sering memicu timbulnya permasalahan lain yang lebih kompleks dan perlu disadari bahwa apapun permasalahan dalam keluarga (suami-isteri dan anak) solusinya melalui proses komunikasi yang baik. Komunikasi interpersonal yang dilandasi sikap keterbukaan, pemahaman, penerimaan membuka peluang sukses bagi pemecahan masalah keluarga. Setiap anggota keluarga harus menyadari setiap kata dan tindakannya betapa berpengaruh pada orang lain. Semuanya perlu belajar berkomunikasi yang baik demi keutuhan keluarga. Contohnya seperti diantara salah satu orangtua mereka pulang hampir malam, karena jalan macet. Badan capek, sampai dirumah mata sudah mengantuk dan tertidur. Tentu orangtua tidak punya kesempatan untuk berdiskusi atau berkomunikasi dengan suami atau istri dan anak-anaknya.
a. Faktor-faktor penyebab problem komunikasi :
 Anak yang takut kepada orang tua.
 Orang tua sering cekcok.
 Kakak adik tidak cocok.
 Orang tua tidak adil.
 Tidak cocok antara mertua dan menantu.
 Masalah dengan para tetangga.

b. Upaya mengatasi problem komunikasi :
1. Luangkan waktu untuk mendengarkan.
2. Berusaha untuk komunikasi intens dengan anggota keluarga yang lain.
3. Buat tradisi keluarga.
4. Pergi berlibur bersama.

 

BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Kita harus ingat bahwa pernikahan adalah satu-satunya permainan yang dapat dan harus dimenangkan oleh kedua belah pihak. Selain itu, pernikahan juga dapat diibaratkan seperti sebuah gunting, yang berpadu sehingga tak terpisahkan; sering bergerak ke arah yang berlawanan, tetapi selalu memotong segala sesuatu yang hadir di antara mereka.
Di akhir tulisan ini saya akan mengutip pentingnya sebuah keluarga yang mampu mengelola konflik bagi kehidupan bersama dari sudut pandang Kong Fut Tze yang menurut saya penting untuk kita simak.
“Apabila ada harmoni di dalam rumah
Maka akan ada ketenangan di masyarakat
Apabila ada ketenangan di masyarakat
Maka ada ketentraman di dalam negara
Apabila ada ketenteraman di dalam negara
Maka akan ada kedamaian di dalam dunia.”
Problem yang ada dalam keluarga baik itu yang bersifat ringan atau berat selekasnya dapat diselesaikan dalam keluarga tersebut .Sehingga keluarga yang masalahnya dapat diselesaikan dengan segera akan terbebas dari tekanan jiwa dan hidup akan tenang tanpa adanya masalah dalam keluarga .

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Nashih Ulwan, 1993, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, CV .Asy Syifa’, Semarang.
Sofyan S. Willis, 1995, Konseling Individual, Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP, Bandung.
http://asihsinplasa.blogspot.com/2012/03/problem-yang-timbul-dalam-keluarga.html
http://zientanurjaman.wordpress.com/konseling/konseling-keluarga/

 

PSIKOANALITIK HUMANISTIK – ERICH FROMM

MAKALAH
PSIKOANALITIK HUMANISTIK – ERICH FROMM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah APTL 1
Dosen pengampu : Sesya Dias Mumpuni, S.Pd
DISUSUN OLEH :
1. Kharis Rizkianto (1112500096)
2. Maya Lestari .W (1112500170)
3. Nur Azizah Zahro (1112500032)
4. Siti Musiam (1112500128)
5. Sholeha Hadi Isyrin (1112500125)

Semester/Kelas : 4/E

PROGDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2014

PSIKOANALITIK HUMANISTIK – ERICH FROMM
1. Sejarah kehidupan erich fromm
Erich Fromm lahir di Frankfurt, Jerman pada tanggal 23 Maret 1900. satu-satunya anak dari kelas menengah orang tua Yahudi ortodoks. Ayahnya, Fromm Naftali, adalah putra Rabai dan cucu dari dua Rabbi. Ibunya, Rosa Krause Fromm, adalah keponakan dari Ludwig Krause, seorang sarjana Talmud yang terkenal. Ia belajar psikologi dan sosiologi di University Heidelberg, Frankfurt, dan Munich. Setelah memperoleh gelar Ph.D dari Heidelberg tahun 1922, ia belajar psikoanalisis di Munich dan pada Institut psikoanalisis Berlin yang terkenal waktu itu. Tahun 1933 ia pindah ke Amerika Serikat dan mengajar di Institut psikoanalisis Chicago dan melakukan praktik privat di New York City. Ia pernah mengajar pada sejumlah universitas dan institut di negara ini dan di Meksiko. Terakhir, Fromm tinggal di Swiss dan meninggal di Muralto, Swiss pada tanggal 18 Maret 1980.

2. Prinsip-prinsip teori erich fromm

Asumsi Fromm yang paling mendasar adalah bahwa kepribadian individu dapat dipahami hanya dalam sejarah manusia. Diskusi tentang situasi manusia mengenai kepribadian dan psikologi harus didasarkan pada konsep filosofi antropologi eksistensi (keberadaan) manusia (Fromm, 1947, MS 45). Lebih daripada teori kepribadian lainnya, Erich Fromm juga menekankan pada perbedaan antara manusia dan binatang lain. Manusia bersandar pada pengalaman unik di alam kehidupannya serta dapat tunduk pada semua hukum dan secara bersamaan melampaui alam’ (Fromm, 1992, ms. 24). Dia percaya bahwa manusia sadar diri akan keberadaan mereka.
Fromm mengambil sikap yang tengah mengenai sadar versus motivasi bawah sadar, lebih menekankan sedikit kepada motivasi sadar dan bersaing karena salah satu ciri-ciri unik manusia adalah kesadaran diri. Manusia itu bukan hewan karena dapat beralasan, membayangkan masa depan, dan sadar berusaha untuk menuju tujuan hidup. Fromm menegaskan, bagaimanapun, bahwa kesadaran diri adalah berkat campuran dari banyaknya orang yang menindas mereka demi karakter dasar untuk menghindari kecemasan. Pada masalah sosial, Fromm berpendapat bahwa manusia lebih banyak memperoleh dampak dari sejarah, budaya, dan masyarakat daripada biologi. Meskipun dia bersikeras bahwa sifat manusia sangat ditentukan oleh sejarah dan budaya , tetapi ia tetap tidak mengabaikan faktor biologis, karena bagaimanapun manusia adalah makhluk yang berasal dari alam semesta. Dia percaya bahwa meskipun sejarah dan budaya menimpa berat pada kepribadian manusia, namun manusia tetap dapat mempertahankan beberapa derajat keunikannya. Manusia satu spesies berbagi banyak kebutuhan dengan manusia yang lain, tetapi pengalaman diri sendiri dalam seluruh kehidupan manusialah yang dapat memberi mereka beberapa ukuran keunikan yang berbeda – beda.
Tema dasar dari dasar semua tulisan Fromm adalah individu yang merasa kesepian dan terisolir karena ia dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Dalam bukunya Escape from Freedom (1941), ia mengembangkan tesis bahwa manusia menjadi semakin bebas dari abad ke abad, maka mereka juga makin merasa kesepian (being lonely). Jadi, kebebasan menjadi keadaan yang negatif dari mana manusia melarikan diri. Dan jawaban dari kebebasan yang pertama adalah semangat cinta dan kerjasama yang menghasilkan manusia yang mengembangkan masyarakat yang lebih baik, yang kedua adalah manusia merasa aman dengan tunduk pada penguasa yang kemudian dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat.

3. Kebutuhan-kebutuhan manusia
Umumnya kata “kebutuhan” diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan aspek kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas dari rasa sakit. Kebutuhan manusia dalam arti kebutuhan sesuai dengan eksistensinya sebagai manusia, menurut Fromm meliputi dua kelompok kebutuhan; pertama kebutuhan untuk menjadi bagian dari sesuatu dan menjadi otonom, yang terdiri dari kebutuhan Relatedness, Rootedness, Transcendence, Unity, dan Identity. Kedua, kebutuhan memahami dunia, mempunyai tujuan dan memanfaatkan sifat unik manusia, yang terdiri dari kebutuhan Frame of orientation, frame of devotion, Excitation-stimulation, dan Effectiveness.
Yang pertama, Kebutuhan Kebebasan dan Keterikatan
1. Keterhubungan (relatedness): Kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari alam dan dari dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung dengan makhluk lain yang dicintai,menjadi bagian dari sesuatu. Keinginan irasional untuk mempertahankan hubungan yang pertama, yakni hubungan dengan ibu, kemudian diwujudkan ke dalam perasaan solidaritas dengan orang lain. Hubungan paling memuaskan bisa positif yakni hubungan yang didasarkan pada cinta, perhatian, tanggung jawab, penghargaan, dan pengertian dari orang lain,bisa negatif yakni hubungan yang didasarkan pada kepatuhan atau kekuasaan.
2. Keberakaran (rootedness): Kebutuhan keberakaran adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang membuatnya merasa nyaman di dunia (merasa seperti di rumahnya). Manusia menjadi asing dengan dunianya karena dua alasan yaitu:
-Dia direnggut dari akar-akar hubungannya oleh situasi (ketika manusia dilahirkan, dia menjadi sendirian dan kehilangan ikatan alaminya)
-Fikiran dan kebebasan yang dikemangkannya sendiri justru memutus ikatan alami dan menimbulkan perasaan isolasi/tak berdaya.
Keberakaran adalah kebutuhan untuk mengikat diri dengan kehidupan. Setiap saat orang dihadapkan dengan dunia baru, dimana dia harus tetap aktif dan kreatif mengembangkan perasaan menjadi bagian yang integral dari dunia. Dengan demikian dia akan tetap merasa aman, tidak cemas, berada di tengah-tengah duania yang penuh ancaman. Orang dapat membuat ikatan fiksasi yang tidak sehat, yakni mengidentifikasikan diri dengan satu situasi, dan tidak mau bergerak maju untuk membuat ikata baru dengan dunia baru.
3. Menjadi pencipta (transcendency): Karena individu menyadari dirinya sendiri dari lingkungannya, mereka kemudian mengenali betapa kuat dan menakutkan alam semesta itu, yang membuatnya merasa tak berdaya. Orang ingin mengatasi perasaan takut dan ketidakpastian menghadapi kemarahan dan ketakmenentuan semesta. Orang membutuhkan peningkatan diri, berjuang untuk mengatasi sifat fasif dikuasai alam menjadi aktif, bertujuan dan bebas, berubah dari makhluk ciptaan menjadi pencipta. Seperti menjadi keterhubungan, transendensi bisa positif (menciptakan sesuatu) atau negatif (menghancurkan sesuatu).
4. Kesatuan (unity): Kebutuhan untuk mengatasi eksistensi keterpisahan antara hakikat binatang dan non binatang dalam diri seseorang. Keterpisahan, kesepian, dan isolasi semuanya bersumber dari kemandirian dan kemerdekaan “untuk apa orang mengejar kemandirian dan kemerdekaan kalau hasilnya justru kesepian dan isolasi?” dari dilema ini muncul kebutuhan unitas. Orang dapat mencapai unitas, memperoleh kepuasan (tanpa menyakiti orang lain dan diri sendiri) kalau hakikat kebinatangan dan kemanusiaan itu bisa didamaikan, dan hanya dengan berusaha untuk menjadi manusia seutuhnya melalui berbagi cinta dan kerjasama dengan orang lain.
5. Identitas (identity): Kebutuhan untuk menjadi “aku”, kebutuhan untuk sadar dengan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang terpisah. Manusia harus merasakan dapat mengontrol nasibnya sendiri, harus bisa membuat keputusan, dan merasa bahwa hidupnya nyata-nyata miliknya sendiri. Misalnya orang primitif mengidentifikasikan diri dengan sukunya, dan tidak melihat dirinya sendiri sebagai bagian yang terpisah dari kelompoknya.
Yang kedua, Kebutuhan untuk memahami dan beraktivitas
1. Kerangka orientasi (frame of orientation): Orang membutuhkan peta mengenai dunia sosial dan dunia alaminya; tanpa peta itu dia akan bingung dan tidak mampu bertingkah laku yang ajeg-mempribadi. Manusia selalu dihadapkan dengan fenomena alam yang membingungkan dan realitas yang menakutkan, mereka membutuhkan hidupnya menjadi bermakna. Dia berkeinginan untuk dapat meramalkan kompleksitas eksistensi. Kerangka orientasi adalah seperangkat keyakinan mengenai eksistensi hidup, perjalanan hidup-tingkah laku bagaimana yang harus dikerjakannya, yang mutlak dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa.
2. Kerangka kesetiaan (frame of devotion): Kebutuhan untuk memiliki tujuan hidup yang mutlak. Orang membutuhkan sesuatu yang dapat menerima seluruh pengabdian hidupnya, sesuatu yang membuat hidupnya menjadi bermakna. Kerangka pengabdian adalah peta yang mengarahkan pencarian makna hidup, menjadi dasar dari nilai-nilai dan titik puncak dari semua perjuangan.
3. Keterangsangan- stimulasi (excitation-stimulation): Kebutuhan untuk melatih sistem syaraf, untuk memanfaatkan kemampuan otak. Manusia membutuhkan bukan sekedar stimulus sederhana (misalnya: makanan), tetapi stimuli yang mengaktifkan jiwa (misalnya: puisi atau hukm fisika). Stimuli yang tidak cukup direaksi saat itu, tetapi harus direspon secara aktif, produktif, dan berkelanjutan.
4. Keefektivan (effectivity): Kebutuhan untuk menyadari eksistensi diri melawan perasaan tidak mampu dan melatih kompetensi/kemampuan.

4. Gangguan Kepribadian
Jika orang-orang yang berkepribadian sehat dapat bekerja, mencintai, dan berpikir produktif, maka yang mengalami gangguan kepribadian ditandai oleh tiga bagian masalah, khususnya kegagalan untuk menghasilkan cinta dan kasih sayang. Fromm (1981) mengatakan bahwa orang-orang yang kepribadiannya terganggu secara psikologis akan tidak mampu mencintai dan telah gagal untuk membentuk kesatuan dengan orang lain. Dia membahas tiga gangguan kepribadian yang berat diantaranya necrophilia, ganas narsisisme dan incest simbiosis.

1.) Necrophilia
istilah “necrophilia” berarti cinta kematian dan biasanya mengacu pada penyimpangan seksual di mana keinginan orang kontak seksual dengan mayat. Namun, Fromm (1964,
1973) necrophilia digunakan dalam pengertian yang lebih umum untuk menunjukkan tertarik kepada kematian. Necrophilia adalah orientasi karakter alternatif untuk biophilia. Orang-orang alami kehidupan cinta, tapi ketika kondisi sosial aksi biophilia, mereka mungkin mengadopsi
orientasi necrophilic. Necrophilic kepribadian benci kemanusiaan; mereka adalah rasis, warmongers, dan pengganggu; mereka mencintai pertumpahan darah, kehancuran, teror, dan penyiksaan; dan mereka senang dalam menghancurkan hidup. Mereka adalah pendukung kuat dari hukum dan ketertiban; suka berbicara tentang penyakit, kematian dan penguburan; dan mereka terpesona oleh kotoran, pembusukan, mayat, dan kotoran. Mereka lebih suka malam hari dan cinta untuk beroperasi dalam kegelapan dan bayangan Necrophilous orang tidak hanya berperilaku dalam cara yang merusak; Sebaliknya, perilaku merusak mereka adalah refleksi dari karakter dasar mereka. Semua orang berperilaku agresif dan destruktif di kali, tetapi seluruh gaya hidup necrophilous orang berkisar kematian, kehancuran, penyakit dan pembusukan.
2.) Ganas Narsisme
ganas narsisisme sama seperti semua orang menampilkan beberapa perilaku necrophilic, begitu juga semua memiliki beberapa narsisistik kecenderungan. Orang sehat mewujudkan bentuk jinak narsisme, yaitu, minat dalam tubuh mereka sendiri. Namun, dalam bentuk ganas, narsisme menghambat persepsi tentang realitas jadi bahwa semua milik seseorang narsis adalah sangat dihargai dan segala sesuatu yang milik lain adalah mendevaluasi. narsisistik individu sibuk dengan diri mereka sendiri, tetapi kekhawatiran ini adalah tidak terbatas untuk mengagumi diri di cermin. Keasyikan dengan satu tubuh sering mengarah ke hypochondriasis, atau perhatian obsesif untuk kesehatan seseorang. Fromm (1964) dibahas pula moral hypochondriasis, atau sebuah keasyikan dengan rasa bersalah tentang sebelumnya pelanggaran. Hasilnya adalah depresi, perasaan tidak dihargai. Meskipun depresi, intens rasa bersalah dan hypochondriasis mungkin muncul untuk menjadi apa pun kecuali pemuliaan diri, Fromm percaya bahwa masing-masing bisa gejala yang mendalam yang mendasari narsisme. incest simbiosis orientasi patologis yang ketiga adalah simbiosis sumbang, atau ketergantungan ekstrim pada ibu atau pengganti ibu.

3.) Incest Simbiosis
Incest simbiosis adalah bentuk berlebihan hasrat alami ibu lebih umum dan lebih jinak. Laki-laki dengan fiksasi ibu perlu seorang wanita untuk merawat mereka, menyayangi mereka, dan mengagumi mereka; mereka merasa agak cemas dan depresi ketika kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Kondisi ini adalah relatif normal dan tidak sangat mengganggu kehidupan sehari-hari mereka. dengan incest simbiosis, namun, orang-orang tersebut tidak dapat dipisahkan dari rumah ; kepribadian mereka yang dicampur dengan orang lain sehingga identitas individu mereka hilang. Incest simbiosis berasal dari masa kanak-kanak sebagai hasrat alami dari anak ke ibu. Hasrat lebih penting dan mendasar dari pada seksualitas yang dapat berkembang menjadi periode Oedipus. Fromm setuju lebih dengan Harry Stack Sullivan (Lihat Bab 8) daripada dengan Freud dalam menyatakan bahwa hasrat alami ibu bersandar pada kebutuhan untuk keamanan dan bukan untuk berzina. “Seksualitas kali ini tidak menyebabkan hasrat ke ibu, tapi hasilnya” (Fromm, 1964, ms. 99). orang-orang yang tinggal di incest hubungan simbiosis merasa sangat cemas dan takut jika hubungan itu terancam. Mereka percaya bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa pengganti ibu mereka.

5. Kondisi Eksistensi manusia
Fromm (1947) percaya bahwa manusia, tidak seperti hewan lain, telah “robek
pergi” dari kesatuan mereka prasejarah dengan alam. Mereka memiliki naluri tidak kuat untuk beradaptasi dengan dunia yang berubah; Sebaliknya, mereka telah memperoleh Fasilitas untuk alasan — suatu kondisi Fromm disebut dilema. Orang mengalami dilema dasar ini karena mereka telah menjadi terpisah dari alam dan belum memiliki kapasitas untuk menyadari diri sebagai makhluk-makhluk yang terisolasi.
Dilema Eksistensi
Mengikuti filsafat dualism, semua gerak di dunia dilatarbelakangi oleh pertentangan dua kelompok ekstrim, tesa dan antitesa. Pertentangan itu akan menimbulkan sintesa, yang pada dasarnya dapat dipandang sebagai teas baru yang akan memunculkan antitesa yang lain. Itulah dinamika yang tidak pernah berhenti bergerak.
Menurut Fromm, hakekat manusia juga bersifat dualistik. Paling tidak ada tiga dualistik di dalam diri manusia:
a. Manusia sebagai binatang dan sebagai manusia
Manusia sebagai binatang memiliki banyak kebutuhan fisiologik yang harus dipuaskan, seperti kebutuhan makan, minum, dan kebutuhan seksual. Manusia sebagai manusia memiliki kebutuhan kesadaran diri, berfikir, dan berimajinasi. Kebutuhan manusia itu terwujud dalam pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, sedih, transendensi, kebebasan, nilai, dan norma.
Kesadaran diri dan fikiran manusia telah mengetahui bahwa dia akan mati, tetapi manusia berusaha mengingkarinya dengan meyakini adanya kehidupan sesudah mati, dan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan fakta bahwa kehidupan akan berakhir dengan kematian.
b. Hidup dan mati
Kondisi yang dibawa dari lahir antara tesa-antitesa eksistensi manusia, disebut dilema eksistensi. Di satu sisi manusia berjuang untuk bebas, menguasai lingkungan dengan hakekat kemanusiaannya, di sisi lain kebebasan itu memperbudak manusia dengan memisahkan hakekat kebinatangan dari akar-akar alaminya. Dinamika kehidupan bergerak tanpa henti seolah-olah manusia bakal hidup abadi, setiap orang tanpa sadar mengingkari kematian yang baka dan berusaha bertahan di dunia yang fana. Mereka menciptakan cita-cita ideal yang tidak pernah dapat dicapai, mengejar kesempurnaan sebagai kompensasi perasaan ketidaksempurnaan. Anak yang berjuang untuk memperoleh otonomi diri mungkin menjadi dalam kesendirian yang membuatnya merasa tidak berdaya dan kesepian; masyarakat yang berjuang untuk merdeka mungkin merasa lebih terancam oleh isolasi dari bangsa lain. Dengan kata lain, kemandirian dan kebebasan yang diinginkan malahan menjadi beban.
c. Kesendirian dan kebersamaan
Manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya tergantung kepada kebersamaan dengan orang lain. Dilema ini tidak pernah terselesaikan, namun orang harus berusaha menjembatani dualism ini, agar tidak menjadi gila. Dualisme-dualisme itu, aspek binatang dan manusia, kehidupan dan kematian, ketidaksempurnaan dan kesempurnaan, kesendirian dan kebersamaan, merupakan kondisi dasar eksistensi manusia. Pemahaman tentang jiwa manusia harus berdasarkan analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-kondisi eksistensi manusia.
Ada dua cara menghindari dilema eksistensi yaitu:
1. Menerima otoritas dari luar dan tunduk kepada penguasa dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Manusia menjadi budak (dari penguasa negara) untuk mendapatkan perlindungan/rasa aman.
2. Orang bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama, menciptakan ikatan dan tanggung jawab bersama dari masyarakat yang lebih baik.
6. Tipologi Sosial
Fromm menyatakan karakter manusia berkembang berdasarkan kebutuhan mengganti insting kebinatangan yang hilang ketika mereka berkembang tahap demi tahap. Menurutnya, karakter berkembang dan dibentuk oleh “social arrangements” (pengaturan sosial) dimana orang itu hidup.
Dalam buku-buku Fromm berikutnya (1947, 1955, 1964), dikatakan bahwa setiap masyarakat yang telah diciptakan manusia, entah itu berupa feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, dan komunisme, semuanya menunjukkan usaha manusia untuk memecahkan kontradiksi dasar manusia. Kontradiksi yang dimaksud adalah seorang pribadi merupakan bagian tetapi sekaligus terpisah dari alam, merupakan binatang sekaligus manusia. Sebagai binatang, orang memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik tertentu yang harus dipuaskan. Sebagai manusia, orang memiliki kesadaran diri, pikiran dan daya khayal. Pengalaman-pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, perasaan kasihan, sikap-sikap perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta norma-norma. Kemudian teori Erich Fromm mengenai watak masyarakat mengakui asumsi transmisi kebudayaan dalam hal membentuk kepribadian tipikal atau kepribadian kolektif. Namun Fromm juga mencoba menjelaskan fungsi-fungsi sosio-historik dari tipe kepribadian tersebut yang menghubungkan kebudayaan tipikal dari suatu kebudayaan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk merumuskan hubungan tersebut secara efektif, suatu masyarakat perlu menerjemahkannya ke dalam unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus dilakukan.
Fromm membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter sosialnya:
1. Sistem A, yaitu masyarakat-masyarakat pecinta kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh cita-cita, menjaga kelangsungan dan perkembangan kehidupan dalam segala bentuknya. Dalam sistem masyarakat seperti ini, kedestruktifan dan kekejaman sangat jarang terjadi, tidak didapati hukuman fisik yang merusak. Upaya kerja sama dalam struktur sosial masyarakat seperti ini banyak dijumpai.
2. Sistem B, yaitu masyarakat non-destruktif-agresif. Masyarakat ini memiliki unsur dasar tidak destruktif, meski bukan hal yang utama, masyarakat ini memandang keagresifan dan kedestruktifan adalah hal biasa. Persaingan, hierarki merupakan hal yang lazim ditemui. Masyarakat ini tidak memiliki kelemah-lembutan, dan saling percaya.
3. Sistem C, yaitu masyarakat destruktif. Karakter sosialnya adalah destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering terhadi persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk materi berupa mengunggulkan simbol.
Fromm juga menyebutkan dan menjelaskan lima tipe karakter sosial yang ditemukan dalam masyarakat dewasa ini, yakni:
1. Tipe Reseptif (mengharapkan dukungan dari pihak luar)
2. Tipe Eksploitasi (memaksa orang lain untuk mengikuti keinginannya)
3. Tipe Penimbunan (suka mengumpulkan dan menimbun barang suatu materi)
4. Tipe Pemasaran (suka menawarkan dan menjual barang.
5. Tipe Produktif (karakter yang kreatif dan selalu berusaha untuk menggunakan barang-barang untuk suatu kemajuan)
6. Tipe Nekrofilus-biofilus (nekrofilus orang yang tertarik dengan kematian, biofilus:orang yang mencintai kehidupan)

7. Implikasi Bagi Konseling
Fromm percaya bahwa pasien datang untuk terapi mencari kepuasan untuk mereka sendiri mengenai Kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian, mengatasi perasaan takut dan ketidakpastian menghadapi kemarahan, kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang membuatnya merasa nyaman di dunia (merasa seperti di rumahnya), kebutuhan untuk sadar dengan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang terpisah, seperangkat keyakinan mengenai eksistensi hidup, perjalanan hidup-tingkah laku bagaimana yang harus dikerjakannya, yang mutlak dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa. Oleh karena itu, terapi harus dibangun atas hubungan pribadi antara pasien dan terapis. Karena komunikasi yang intensif sangat penting untuk terapi pertumbuhan, terapis harus mampu berkonsentrasi dan mengucapkan ketulusan yang terjadi antar manusia (Fromm, 1963, p. 184). Sehingga pasien akan merasa saling menyatu satu sama lainnya. Sebagai bagian dari upayanya untuk mencapai komunikasi bersama, Fromm meminta pasien untuk mengungkapkan impian mereka. Dia percaya bahwa mimpi, serta dongeng dan mitos, yang dinyatakan dalam bahasa simbolik atau bahasa universal, manusia telah dapat mengembangkannya (Fromm, 1951). Fromm (1963) percaya bahwa terapis harus berusaha untuk tidak terlalu memaksakan kehendak dalam memahami pasien. Hanya dengan sikap keterkaitannya terhadap orang lain hingga akhirnya dapat benar-benar saling mengerti. Terapis tidak boleh melihat pasien sebagai suatu penyakit atau sampah masyarakat, tetapi melihat sebagai seorang manusia yang juga mempunyai kebutuhan sama dengan yang dimiliki semua orang.

TEKHNIK-TEKHNIK KONSELING KELUARGA

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul:
“TEKNIK-TEKNIK KOSELING KELUARGA”
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Tegal, April 2014

Penulis

 

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tiap keluarga akan senantiasa menghadapi berbagai masalah, tetapi kemampuan untuk mengatasinya tidak terlalu memadai. Karena itu harus ada usaha-usaha untuk memperkuat kemampuan keluarga atau anggota keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam keluarga itu sendiri maupun dari luar. Usaha itu harus dimulai oleh keluarga itu sendiri atau oleh seorang ahli yang dapat membantu mengatasi persoalan keluarga bila masalah keluarga itu memerlukan orang lain untuk membantu penyelesaian konflik dalam keluarga.
Kita menyadari bahwa bahtera perkawinan tidak selamanya dapat mengarungi samudera dengan tenang dan lancar. Setelah keluarga terbentuk, berbagaimasalah dapat timbul dalam keluarga yang pada gilirannya akan menjadi benih yang mengancam kehidupan perkawinan dan berakibat keretakan atauperceraian. Sebelum hal ini terjadi di keluarga atau angota keluarga hendaklah berusaha untuk mencegahnya dengan memperbaiki hubungan dalam keluarga dan kadang-kadang memerlukan campur tangan orang luar dalam usaha membantu keluarga itu untuk mengatasi situasi konflik tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Konseling keluarga ?
2. Bagaimana Teknik konseling keluarga dalam pendekatan system ?
3. Apa saja skill individu yang perlu dikuasai konselor ?

 

 

 

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konseling Keluarga
Konseling Keluarga adalah upaya bantuan yang diberikan pada individu anggota keluarga melalui system keluarga agar potensinya berkembang seoptimal mungkin dan masalahnya dapat diatasi atas dasar kemauan membantu dari semua anggota keluarga berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga. Konseling keluarga memfokuskan pada masalah-masalah berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga dan memandang keluarga secara keseluruhan bahwa permasalahan yang dialami seorang anggota keluarga akan efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain.
B. Teknik Konseling Keluarga dalam Pendekatan Sistem
Pendekatan system yang dikemukakan oleh perez (1979) mengembangkan 10 teknik konseling keluarga, yaitu:
1. Sculpting (mematung) yaitu suatu teknik yang mengizinkan anggota-anggota keluarga yang menyatakan kepada anggota lain, persepsinya tentang berbagai masalah hubungan diantara anggota-anggota keluarga. Klien diberi izin menyatakan isi hati dan persepsinya tanpa rasa cemas. Sculpting digunakan konselor untuk mengungkapkan konflik keluarga melalui verbal, untuk mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui verbal, untuk mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui tindakan (perbuatan). Hal ini bisa dilakukan dengan “the family relationshop tebelau” yaitu anggota keluarga yang “mematung”, tidak memberikan respon apa-apa, selama seorang anggota menyatakan perasaannya secara verbal.
2. Role playing (bermain peran) yaitu suatu teknik yang memberikan peran tertentu kepada anggota keluarga. Peran tersebut adalah peran orang lain dikeluarga itu, misalnya anak memainkan peran sebagai ibu. Dengan cara itu anak akan terlepas atau terbebas dari perasaan-perasaan penghukuman, perasaan tertekan dan lain-lain. Peran itu kemudian bisa dikembalikan lagi kepada keadaan yang sebenarnya jika ia menghadapai suatu perilaku ibunya yang mungkin kurang ia sukai.
3. Silence (diam) apabila anggota berada dalam konflik dan frustasi karena ada salah satu anggota lain yang suka bertindak kejam, maka biasanya mereka datang kehadapan konselor dengan tutup mulut. Kedaan ini harus dimanfaatkan konselor untuk menunggu suatu gejala prilaku yang akan muncul menunggu munculnya pikiran baru. Disamping itu juga digunakan dalam menghadapi klien yang cerewet, banyak omong dan lain-lain.
4. Confrontation (konfrontasi) ialah suatu teknik yang digunakan konselor untuk mempertentangkan pendapat-pendapat anggota keluarga yang terungkap dalam wawancara konseling keluarga. Tujuan agar anggota keluarga itu bisa bicara terus terang, dan jujur serta menyadari perasaan masing-masing. Contoh respon konselor: “siapa biasanya yang banyak omong?”, konselor bertanya dalam suasana yang mungkin saling tuding.
5. Teaching via Questioning ialah suatu teknik mengajar anggota dengan cara bertanya. “bagaimana kalau sekolahmu gagal ?” ; “ apakah kau senang kalau ibumu menderita?”
6. Listening (mendengarkan) teknik ini digunakan agar pembicaraan seorang anggota keluarga didengarkan dengan sabar oleh yang lain. Konselor menggunakan teknik ini untuk mendengarkan dengan perhatian terhadap klien. Perhatian tersebut terlihat dari cara duduk konselor yang menghadapkan muka kepada klien, penuh perhatian terhada setiap pernyataan klien, tidak menyela ketika klien sedang serius.
7. Recapitulating (mengikhtisarkan) teknik ini dipakai konselor untuk mengikhtisarkan pembicaraan yang bergalau pada setiap anggota keluarga, sehingga dengan cara itu kemungkinan pembicaraan akan lebih terarah dan terfokus. Misalnya konselor mengatakan “rupanya ibu merasa rendah diri dan tak mampu menjawab jika suami anda berkata kasar”.
8. Summary (menyimpulkan) dalam suatu fase konseling, kemungkinan konselor akan menyimpulkan sementara hasil pembicaraan dengan keluarga itu. Tujuannya agar konseling bisa berlanjut secara progresif.
9. Clarification (menjernihkan) yaitu usaha konselor untuk memperjelas atau menjernihkan suatu pernyataan anggota keluarga karena terkesan samar-samar. Klarifikasi juga terjadi untuk memperjelas perasaan yang diungkap secara samar-samar. Misalnya konselor mengatakan kepada jenny: “katakana kepada jenny, bukan kepada saya”. Biasanya klarifikasi lebih menekankan kepada aspek makna kognitif dari suatu pernyataan verbal klien.
10. Reflection (refleksi) yaitu cara konselor untuk merefleksikann perasaan yang dinyatakan klien, baik yang berbentuk kata-kata atau ekspresi wajahnya. “tanpaknya anda jengkel dengan prilaku seperti itu”.
C. Skill Individual yang Perlu Dikuasai Konselor
Jika pelaksanaan konseling keluarga melalui pendekatan system tak mungkin dilakukan, maka usaha konselor adalah melakukan pendekatan individual terhadap klien yang mengalami kasus keluarga. Misalnya siswa yang bermasalah bersumber dari keluarga. Berhubung kedua orang tuanya sulit untuk di datangkan kesekolah maka buat pertama kali siswa itu diberi konseling individual. Berikut ini adalah beberapa teknik konseling individual.
1. Teknik-teknik Yang Berhubungan Dengan Pemahaman Diri
Teknik-teknik yang berkaitan dengan pemahaman diri ini dibagi atas tujuh kelompok yaitu:
a. Listening skill (keterampilan mendengarkan)
Keterampilan ini terdiri dari;
(1) Attending, yaitu pernyataan dalam bentuk verbal dan non verbal ketika klien memasuki ruang konselor,
(2) Paraphrasing, yaitu respon konselor terhadap pesan utama dalam pernyataan klien. Respon tersebu merupakan pernyataan ringkas dalam bahasa konselor sendiri tentang pernyataan klien,
(3) Clarfying, yaitu pengungkapan diri dan memfokuskan diskusi. Konselor memperjelas masalah klien,
(4) Perception checking, yaitu menentukan ketepatan pendengaran konselor.
b. Leading skill (keterampilan memimpin)
Keterampilan ini terdiri dari;
(1) Indirect leading, digunakan dalam awal pembicaraan dimana konselor secara tak langsung memimpin klien,
(2) Direct leading, yaitu memberikan klien dan memperluas diskusi,
(3) Focusing, yaitu memfokuskan pembicaraan, mengawasi keragu-raguan, memfokuskan pembiacaraan yang menyebar atau bertele-tele atau bersamar-samar.
(4) Questioning, berhubungan dengan penilikan atau penyelidikan agar klien membuka diri dengan pernyataan-pernyataan yang baru.
c. Reflecting skill (keterampilan merefleksi)
(1) Reflecting feeling, yaitu keterampilan merefleksi perasaan klien;
(2) Reflecting experience, yaitu keterampilan merefleksikan pengalaman klien
(3) Reflecting content, yaitu keterampilan dalam mengulang ide-ide klien dengan bahasa yang lebih segar dan memberikan penekanan.
d. Summarizing skill (keterampilan menyimpulkan)
Yaitu keterampilan konselor dalam menarik kesimpulan-kesimpulan yang menonjol dari pernyataan klien.
e. Confronting skill (keterampilan mengkonfrontasi)
(1) Pengenala perasaan-perasaan dalam diri konselor, konselor sadar akan pengalaman sendiri dihubungkan dengan pengalaman klien.
(2) Mengkonfrontasikan pengalaman, perasaan dan pemikiran klien yang bertentangan.
(3) Pendapat-pendapat yang mereaksi ekspresi klien, konselor mengkonfrontasikan antara pernyataan dengan ekspresi klien, atau dengan gerakan tubuh, pandangan mata.
(4) Meningkatkan konfrontasi diri
(5) Membuka perasaan-perasaan yang tak jelas (repeating)
(6) Memudahkan munculnya perasaan-perasaan yang tenggelam (associating)
f. Interpreting skill (keterampilan menafsirkan)
Terdiri dari;
a. Pertanyaan penafsiran (interpretive questions), memudahkan munculnya kesadaran klien.
b. Fantasi dan metafora (fantasy and metaphor), yaitu mengandaikan, menyimbolkan ide-ide dan perasaan klien.
g. Informing skill (keterampilan menginformasikan)
a. Nasehat (advising), yaitu member sugesti dan pandangan berdasarkan pengalaman konselor.
b. Menginfrmasikan (informing), yaitu memberikan informasi yang valid berdasarkan keahlian konselor.
2. Keterampilan Untuk Menyenangkan dan Menangani Krisis
Keterampilan ini berhubungan dengan klien atau siapa saja yang mengalami krisis, agar supaya konselor mampu merespon dengan fleksibel, cepat dan aktif, serta mencapai tujuan-tujuan yang terbatas. Skill ini juga berhubungan dengan usaha menyenangkan dan konselor sebagai alatnya.
a. Contacting skill (keterampilan mengadakan kontak). Kontak tersebut bisa berupa kontak mata, dan kontak fisik dengan cara memegang bahu klien agar dia merasa senang dan aman. Tetapi kontak tersebut harus didasari oleh kultur, usia, dan keadaan emosinal klien.
b. Reassuring skill (keterampilan menentramkan hati klien) keterampilan ini merupakan usaha konselor untuk meyakinkan akibat logis perbuatannya atau pendekatan. Hal ini merupakan hadiah (reward) bagi klien dan mengurangi stress atau konfliknya. Tujuan teknik ini untuk menanamkan kepercayaan diri klien, memobilisasi kekuatannya, dan mengurangi kecemasan, dan menguatkan prilaku yang diinginkan. Sebagai contoh: “anda dapat merasakan lebih baik”’ “anda dapat menyelesaikan sendiri masalah anda”.
c. Relaxing skill (keterampilan untuk member relax/santai), teknik ini berguna untuk menurunkan ketegangan dengan jalan mengendurkan otot-otot. Teknik relaxation ini dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Tegangkan kedua otot tangan beberapa detik, kemudian kendorkan perlahan-lahan.
b. Tegangkan otot perut dan dada, kemudian kendorkan perlahan-lahan.
c. Tegangkan otot kaki, kemudia kendorkan perlahan-lahan.
d. Tegangkan otot muka, kemudian kendorkan perlahan-lahan.
d. Crisis interpeving skill, teknik bertujuan untuk mengurangi atau meringankan krisis dengan cara mengubah lingkungan klien.
e. Developing action alternatives, teknik ini adalah mengembangkan laternatif-alternatif dalam mengatasi krisis. Konselor mendorong dan memberanikan klien untuk mempertimbangkan alternative-alternatif yang mungkin dapat dilakukan dalam mengatasi krisisnya. Alternative tersebut hendaknya diarahkan konselor berdasarkan persepsi yang realistic klien. Berdasarkan kenyataan, maka fase mengembangkan tindakan mengambil alternative dalam peristiwa klien yang krisis adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan persepsi realistic klien terhadap krisis yang dihadapi klien.
b. Memberikan dorongan untuk mengurangi ketegangan karena adanya krisis dan konflik.
c. Mempertimbangkan semua alternative untuk menagatasi krisis tersebut.
d. Membuat suatu komitmen tentang perbuatan yang bertujuan mencapai keseimbangan yang beralasan dan kesenangan bagi klien.
f. Reffering skill (keterampilan mereferal klien) keterampilan berhubungan dengan sulitnya bagi konselor untuk membantu klien yang krisis. Karena itu konselor harus merefer atau mengadakan referral kepada seorang yang ahli terhadap kasus klien tersebut. Akan tetapi uspaya referral itu berhasil, maka beberapa persyaratan berikut dapat dipenuhi:
(1) Usaha kesediaan klien untuk referral
(2) Mengetahui sumber-sumber referral yang tepat dimasyarakat
(3) Jujurlah dengan keterbatasan konselor sehingga klien perlu direferal.
(4) Mendiskusikan kemungkinan referral dengan lembaga yang menerima.
(5) Bicarakan dengan klien tentang orang-orang atau lembaga yang pernah ia datangi minta bantuan.
(6) Jika klien masih muda, mintalah rekomendasi orang tuanya.
(7) Katakana dengan jujur kepada klien bahwa setiap lembaga juga ada keterbatasannya.
(8) Berilah kesempatan kepada klien atau orang tuanya untuk membuat perundingan dan perjanjian dengan lembaga baru yang akan menanganinya.
(9) Jangan mengirim informasi kepada lembaga baru tanpa izin tertulis dari klien atau orang tuanya.
Mengenai kondisi-kondisi krisis yang mungkin dialami manusia dapat dibagi atas tiga kategori:
1. Keahlian sesuatu (factor luar), yaitu:
a. Perceraian
b. Kehilangan pekerjaan
c. Kehilangan harta milik sperti kebakaran, pencurian, anak meninggal dan lain-lain.
d. Mengalami bencana atau malapetaka
e. Terkena hukuman penjara
2. Keadaan yang sulit dalam diri, yaitu;
a. Kehilangan harapan
b. Putus asa
c. Depresi
d. Kelelahan dalam suasana perang
e. Usaha-usaha bunuh diri
f. Kecanduan narkotika
3. Keadaan transisi, yaitu;
a. Pindah pekerjaan
b. Konflik keluarga
c. Sakit-sakitan
d. Pindah tempat tinggal
e. Ketakutan akan keadaan yang akan datang mengancam
3. Keterampilan untuk Mengadakan Tindakan Posistif dan Perubahan Prilaku Klien
Keterampilan ini tampaknya banyak diwarnai oleh aliran behavioral therapy (terapi prilaku). Tujuannya agar setelah konseling maka klien mengalami perubahan perilaku dan mampu melakukan tindakan positif.
Perubahan prilaku ini adalah masalah teknologi, dan bukan maslah system etika, Metode terapi ini mempunyai karakteristik:
a. Pendekatan empiric objektif terhadap tujuan-tujuan klien
b. Perubahan terhadap lingkungan klien
Mengingat tujuan yang akan dicapai, maka konselor terapi perilaku ditntut keahlian khusus.Adapun keterampilan teknikyang termasuk dalam bagian ini adalah:
a. Modeling. Modeling adalah metode belajar dengan cara mengalami atau memperhatikan perilaku orang lain. Tentu model perilaku yang akan ditiru klien hendaklah yang positif dan sesuai dengan tujuan klien. Adapun prinsif-prinsif umum penggunaan teknik modeling adalah sebagai berikut:
1) Tentukan dulu model perilaku mana yang menarik bagi klien
2) Tentukan tujuan-tujuan yang akan dicapai
3) Pilihlah model yang terpercaya dan sesuai dengan usia, jenis kelamin dan budaya bangsa.
4) Tentukan cara simulasi dan praktikum modeling itu
5) Buat atau persiapkan dulu format modeling, skrip, dan urutan-urutan permainan peranan
6) Diskusi dengan klien tentang reaksi-reaksinya dalam hal perasaan., belajar dan sugesti.
7) Klien akan melakukan model itu secara informasi terus menerus hingga ia berhasil.
b. Rewarding skill (keterampila memberikan reward atau ganjaran) keterampilan ini bertujuan untuk memberikan penguat (reinforcement) kepada klien yang;
1) Berhasil mengatasi perilakunya yang kurang baik
2) Mengubah perilaku yang tidak diinginkan oleh klien
3) Dapat memelihar perilaku yang baik (perilaku baru)
Prinsip umum skill ini adalah:
Pertama, bahwa reward dan system insentif harus dapat mempertahankan derajat perilaku yang tinggi dalam waktu lama.
Kedua, reward hendaknya sesuai dengan perilaku yang diinginkan
Ketiga, reward hendaknya cukup kuat dalam menciptakan perilaku baru penguat atau reward (hadiah) dapat diberikan berupa pujian, semangat, hadiah, benda, senyuman, dan pegangan pada bahu.
c. Contracting skill (keterampilan mengadakan persetujuan dengan klien). Kontrak adalah suatu persetujuan (agreement) dengan klien tentang tugas-tugas khusus. Peran reward disini amat penting.
BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Setiap keluarga pasti ingin bahagia dan sejahtera. Setiap keluarga memiliki definisi dan impian tersendiri tentang bahagia dan sejahtera. Setiap keluarga pun memiliki cara yang berbeda untuk mewujudkan visi “menjadi bahagia dan sejahtera”. Meski setiap keluarga memiliki definisi, visi, dan cara yang berbeda untuk menjadi bahagia dan sejahtera, tapi satu hal pasti disepakati oleh semua keluarga adalah bahwa kebahagian dan kesejahteraan keluarga harus dibangun dan ditumbuh-kembangkan, tidak dapat tercipta begitu saja.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr.H.Sofyan S. Willis – Koseling Keluarga (family counseling) suatu upaya membantu anggota keluarga memecahkan masalah komunikasi di dalam system anggota keluarga. Penerbit alfabeta. Bandung: 2009